Simpan » Diposting oleh imam » Senin, 04 Januari 2010 »
permalink

Senin, 04 Januari 2010
imam
No comments

Ta'aruf Syar'i Solusi Pengganti Pacaran

Ta’aruf Syar’i,
Solusi Pengganti
Pacaran
Rabu, 25-April-2007
Penulis: Al-Ustadz
Abu Abdillah
Muhammad Al-
Makassari
Pertanyaan:
1. Apabila seorang
muslim ingin
menikah, bagaimana
syariat mengatur
cara mengenal
seorang muslimah
sementara pacaran
terlarang dalam
Islam?
2. Bagaimana hukum
berkunjung ke
rumah akhwat
(wanita) yang
hendak dinikahi
dengan tujuan untuk
saling mengenal
karakter dan sifat
masing-masing?
3. Bagaimana hukum
seorang ikhwan
(lelaki)
mengungkapkan
perasaannya
(sayang atau cinta)
kepada akhwat
(wanita) calon
istrinya?
Pertanyaan:
1. Apabila seorang
muslim ingin
menikah, bagaimana
syariat mengatur
cara mengenal
seorang muslimah
sementara pacaran
terlarang dalam
Islam?
2. Bagaimana hukum
berkunjung ke
rumah akhwat
(wanita) yang
hendak dinikahi
dengan tujuan untuk
saling mengenal
karakter dan sifat
masing-masing?
3. Bagaimana hukum
seorang ikhwan
(lelaki)
mengungkapkan
perasaannya
(sayang atau cinta)
kepada akhwat
(wanita) calon
istrinya?
Dijawab oleh Al-
Ustadz Abu Abdillah
Muhammad Al-
Makassari:
ِمْسِب ِهللا،
ُدْمَحْلا ِهلل
ُةَالَّصلاَو
ُمَالَّسلاَو
ىَلَع ِلْوُسَر
ِهللا
Benar sekali
pernyataan anda
bahwa pacaran
adalah haram dalam
Islam. Pacaran
adalah budaya dan
peradaban jahiliah
yang dilestarikan
oleh orang-orang
kafir negeri Barat
dan lainnya,
kemudian diikuti oleh
sebagian umat Islam
(kecuali orang-orang
yang dijaga oleh
Allah Subhanahu wa
Ta ’ala), dengan
dalih mengikuti
perkembangan
jaman dan sebagai
cara untuk mencari
dan memilih
pasangan hidup.
Syariat Islam yang
agung ini datang dari
Rabb semesta alam
Yang Maha
Mengetahui dan
Maha Bijaksana,
dengan tujuan untuk
membimbing
manusia meraih
maslahat-maslahat
kehidupan dan
menjauhkan mereka
dari mafsadah-
mafsadah yang akan
merusak dan
menghancurkan
kehidupan mereka
sendiri.
Ikhtilath (campur
baur antara lelaki
dan wanita yang
bukan mahram),
pergaulan bebas, dan
pacaran adalah
fitnah (cobaan) dan
mafsadah bagi umat
manusia secara
umum, dan umat
Islam secara khusus,
maka perkara
tersebut tidak bisa
ditolerir. Bukankah
kehancuran Bani
Israil –bangsa yang
terlaknat– berawal
dari fitnah (godaan)
wanita? Allah
Subhanahu wa
Ta ’ala berfirman:
َنِعُل
َنْيِذَّلا
اوُرَفَك ْنِم
يِنَب
َلْيِئاَرْسِإ
ىَلَع ِناَسِل
َدُواَد
ىَسْيِعَو ِنْبا
َمَيْرَم َكِلَذ
اَمِب اْوَصَع
اوُناَكَو
َنْوُدَتْعَي.
اوُناَك َال
َنْوَهاَنَتَي
ْنَع ٍرَكْنُم
ُهْوُلَعَف
َسْئِبَل اَم
اوُناَك
َنْوُلَعْفَي
“Telah terlaknat
orang-orang kafir
dari kalangan Bani
Israil melalui lisan
Nabi Dawud dan Nabi
‘ Isa bin Maryam. Hal
itu dikarenakan
mereka bermaksiat
dan melampaui
batas. Adalah
mereka tidak saling
melarang dari
kemungkaran yang
mereka lakukan.
Sangatlah jelek apa
yang mereka
lakukan. ” (Al-
Ma`idah: 79-78)
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
bersabda:
َّنِإ اَيْنُّدلا
ٌةَوْلُح
ٌةَرِضَخ، َّنِإَو
َهللا
ْمُكُفِلْخَتْسُم
اَهْيِف
ُرُظْنَيَف
َفْيَك
َنْوُلَمْعَت ،
اوُقَّتاَف
اَيْنُّدلا
اوُقَّتاَو
َءاَسِّنلا،
َّنِإَف َلَّوَأ
ِةَنْتِف يِنَب
َلْيِئاَرْسِإ
ْتَناَك يِف
ِءاَسِّنلا
“Sesungguhnya
dunia itu manis dan
hijau (indah
memesona), dan
Allah Subhanahu wa
Ta ’ala menjadikan
kalian sebagai
khalifah (penghuni)
di atasnya, kemudian
Allah Subhanahu wa
Ta ’ala
memerhatikan
amalan kalian. Maka
berhati-hatilah
kalian terhadap
dunia dan wanita,
karena
sesungguhnya awal
fitnah (kehancuran)
Bani Israil dari kaum
wanita. ” (HR.
Muslim, dari Abu
Sa ’id Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
juga
memperingatkan
umatnya untuk
berhati-hati dari
fitnah wanita,
dengan sabda beliau:
اَم ُتْكَرَت
يِدْعَب
ًةَنْتِف
َّرَضَأ َىلَع
ِلاَجِّرلا َنِم
ِءاَسِّنلا
“Tidaklah aku
meninggalkan fitnah
sepeninggalku yang
lebih berbahaya
terhadap kaum lelaki
dari fitnah (godaan)
wanita. ” (Muttafaqun
‘alaih, dari Usamah
bin Zaid radhiyallahu
‘ anhuma)
Maka, pacaran
berarti
menjerumuskan diri
dalam fitnah yang
menghancurkan dan
menghinakan,
padahal semestinya
setiap orang
memelihara dan
menjauhkan diri
darinya. Hal itu
karena dalam
pacaran terdapat
berbagai
kemungkaran dan
pelanggaran syariat
sebagai berikut:
1. Ikhtilath, yaitu
bercampur baur
antara lelaki dan
wanita yang bukan
mahram. Padahal
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
menjauhkan
umatnya dari
ikhtilath, sekalipun
dalam pelaksanaan
shalat. Kaum wanita
yang hadir pada
shalat berjamaah di
Masjid Nabawi
ditempatkan di
bagian belakang
masjid. Dan seusai
shalat, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berdiam
sejenak, tidak
bergeser dari
tempatnya agar
kaum lelaki tetap di
tempat dan tidak
beranjak
meninggalkan
masjid, untuk
memberi
kesempatan jamaah
wanita
meninggalkan masjid
terlebih dahulu
sehingga tidak
berpapasan dengan
jamaah lelaki. Hal ini
ditunjukkan oleh
hadits Ummu
Salamah
radhiyallahu ‘anha
dalam Shahih Al-
Bukhari. Begitu pula
pada hari Ied, kaum
wanita disunnahkan
untuk keluar ke
mushalla (tanah
lapang) menghadiri
shalat Ied, namun
mereka ditempatkan
di mushalla bagian
belakang, jauh dari
shaf kaum lelaki.
Sehingga ketika
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
usai menyampaikan
khutbah, beliau perlu
mendatangi shaf
mereka untuk
memberikan
khutbah khusus
karena mereka tidak
mendengar khutbah
tersebut. Hal ini
ditunjukkan oleh
hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu
dalam Shahih
Muslim.
Bahkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
ُرْيَخ
ِفْوُفُص
ِلاَجِّرلا
اَهُلَّوَأ
اَهُّرَشَو
اَهِرِخآ، ُرْيَخَو
ِفْوُفُص
ِءاَسِّنلا
اَهُرِخآ
اَهُّرَشَو
اَهُلَّوَأ
“Sebaik-baik shaf
lelaki adalah shaf
terdepan dan
sejelek-jeleknya
adalah shaf terakhir.
Dan sebaik-baik shaf
wanita adalah shaf
terakhir, dan
sejelek-jeleknya
adalah shaf
terdepan. ” (HR.
Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu
‘ anhu)
Asy-Syaikh Ibnu
‘ Utsaimin
rahimahullah
berkata: “Hal itu
dikarenakan
dekatnya shaf
terdepan wanita dari
shaf terakhir lelaki
sehingga merupakan
shaf terjelek, dan
jauhnya shaf
terakhir wanita dari
shaf terdepan lelaki
sehingga merupakan
shaf terbaik. Apabila
pada ibadah shalat
yang disyariatkan
secara berjamaah,
maka bagaimana
kiranya jika di luar
ibadah? Kita
mengetahui
bersama, dalam
keadaan dan
suasana ibadah
tentunya seseorang
lebih jauh dari
perkara-perkara
yang berhubungan
dengan syahwat.
Maka bagaimana
sekiranya ikhtilath
itu terjadi di luar
ibadah? Sedangkan
setan bergerak
dalam tubuh Bani
Adam begitu
cepatnya mengikuti
peredaran darah .
Bukankah sangat
ditakutkan
terjadinya fitnah dan
kerusakan besar
karenanya ?” (Lihat
Fatawa An-Nazhar
wal Khalwah wal
Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal
wanita para
shahabat keluar
menghadiri shalat
dalam keadaan
berhijab syar ’i
dengan menutup
seluruh tubuhnya –
karena seluruh tubuh
wanita adalah
aurat – sesuai
perintah Allah
Subhanahu wa
Ta ’ala dalam surat
Al-Ahzab ayat 59 dan
An-Nur ayat 31,
tanpa melakukan
tabarruj karena Allah
Subhanahu wa
Ta ’ala melarang
mereka melakukan
hal itu dalam surat
Al-Ahzab ayat 33,
juga tanpa memakai
wewangian
berdasarkan
larangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam
hadits Abu Hurairah
yang diriwayatkan
Ahmad, Abu Dawud,
dan yang lainnya :
َنْجُرْخَيْلَو
َّنُهَو
ٌتَالِفَت
“Hendaklah mereka
keluar tanpa
memakai
wewangian. ”
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
juga melarang siapa
saja dari mereka
yang berbau harum
karena terkena
bakhur untuk untuk
hadir shalat
berjamaah
sebagaimana dalam
Shahih Muslim dari
Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu.
Allah Subhanahu wa
Ta ’ala berfirman
dalam surat Al-Ahzab
ayat 53:
اَذِإَو
َّنُهْوُمُتْلَأَس
اًعاَتَم
َّنُهْوُلَأْساَف
ْنِم ِءاَرَو
ٍباَجِح ْمُكِلَذ
ُرَهْطَأ
ْمُكِبْوُلُقِل
َّنِهِبْوُلُقَو
“Dan jika kalian
(para shahabat)
meminta suatu hajat
(kebutuhan) kepada
mereka (istri-istri
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam)
maka mintalah dari
balik hijab. Hal itu
lebih bersih (suci)
bagi kalbu kalian dan
kalbu mereka. ”
Allah Subhanahu wa
Ta ’ala
memerintahkan
mereka berinteraksi
sesuai tuntutan
hajat dari balik hijab
dan tidak boleh
masuk menemui
mereka secara
langsung. Asy-Syaikh
Ibnu Baz
rahimahullah
berkata: “Maka
tidak dibenarkan
seseorang
mengatakan bahwa
lebih bersih dan lebih
suci bagi para
shahabat dan istri-
istri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
sedangkan bagi
generasi-generasi
setelahnya tidaklah
demikian. Tidak
diragukan lagi
bahwa generasi-
generasi setelah
shahabat justru lebih
butuh terhadap hijab
dibandingkan para
shahabat, karena
perbedaan yang
sangat jauh antara
mereka dalam hal
kekuatan iman dan
ilmu. Juga karena
persaksian
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
terhadap para
shahabat, baik lelaki
maupun wanita,
termasuk istri-istri
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
sendiri bahwa
mereka adalah
generasi terbaik
setelah para nabi
dan rasul,
sebagaimana
diriwayatkan dalam
Shahih Al-Bukhari
dan Shahih Muslim.
Demikian pula, dalil-
dalil Al-Qur`an dan
As-Sunnah
menunjukkan
berlakunya suatu
hukum secara umum
meliputi seluruh
umat dan tidak boleh
mengkhususkannya
untuk pihak tertentu
saja tanpa
dalil. ” (Lihat Fatawa
An-Nazhar, hal.
11-10)
Pada saat yang
sama, ikhtilath itu
sendiri menjadi
sebab yang
menjerumuskan
mereka untuk
berpacaran,
sebagaimana fakta
yang kita saksikan
berupa akibat
ikhtilath yang terjadi
di sekolah, instansi-
instansi pemerintah
dan swasta, atau
tempat-tempat yang
lainnya. Wa ilallahil
musytaka (Dan
hanya kepada Allah
kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu
berduaannya lelaki
dan wanita tanpa
mahram. Padahal
Rasululllah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
ْمُكاَّيِإ
َلْوُخُّدلاَو
َىلَع ِءاَسِّنلا.
َلاَقَف ٌلُجَر
َنِم ِراَصْنَألْا :
َتْيَأَرَفَأ
؟َوْمَحْلا َلاَق :
ُوْمَحْلا
ُتْوَمْلا
“Hati-hatilah kalian
dari masuk menemui
wanita. ” Seorang
lelaki dari kalangan
Anshar berkata:
“ Bagaimana
pendapatmu dengan
kerabat suami? ”
Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“ Mereka adalah
kebinasaan.” (Muttafaq
‘alaih, dari ‘Uqbah
bin ‘Amir
radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
juga bersabda:
َال َّنَوُلْخَي
ْمُكُدَحَأ
ٍةَأَرْماِب َّالِإ
َعَم يِذ ٍمَرْحَم
“Jangan sekali-kali
salah seorang kalian
berkhalwat dengan
wanita, kecuali
bersama
mahram. ” (Muttafaq
‘alaih, dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma)
Hal itu karena
tidaklah terjadi
khalwat kecuali
setan bersama
keduanya sebagai
pihak ketiga,
sebagaimana dalam
hadits Jabir bin
Abdillah radhiyallahu
‘ anhuma:
ْنَم َناَك
ُنِمْؤُي ِهللاِب
ِمْوَيْلاَو
ِرِخآلْا َالَف
َّنَوُلْخَي
ٍةَأَرْماِب
َسْيَل اَهَعَم
ْوُذ ٍمَرْحَم
اَهْنِم َّنِإَف
اَمُهَثِلاَث
ُناَطْيَّشلا
“Barangsiapa
beriman kepada
Allah dan hari akhir
maka jangan sekali-
kali dia berkhalwat
dengan seorang
wanita tanpa
disertai mahramnya,
karena setan akan
menyertai
keduanya. ” (HR.
Ahmad)
3. Berbagai bentuk
perzinaan anggota
tubuh yang
disebutkan oleh
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam
dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu
‘ anhu:
َبِتُك َىلَع
ِنْبا َمَدآ
ُهُبْيِصَن َنِم
اَنِّزلا ٌكِرْدُم
َكِلَذ َال
َةَلاَحَم :
ِناَنْيَعْلا
اَمُهاَنِز
ُرَظَّنلا ،
ِناَنُذُألْاَو
اَمُهاَنِز
ُعاَمِتْسِالْا ،
ُناَسِّللاَو
ُهاَنِز ُمَالَكْلا،
ُدَيْلاَو ُهاَنِز
ُشْطَبْلا ،
ُلْجِّرلاَو
ُهاَنِز اَطُخْلا ،
ُبْلَقْلاَو
ىَوْهَي
ىَّنَمَتَيَو ،
ُقِّدَصُيَو
َكِلَذ ُجْرَفْلا
ْوَأ ُهُبِّذَكُي
“Telah ditulis bagi
setiap Bani Adam
bagiannya dari zina,
pasti dia akan
melakukannya,
kedua mata zinanya
adalah memandang,
kedua telinga
zinanya adalah
mendengar, lidah
(lisan) zinanya
adalah berbicara,
tangan zinanya
adalah memegang,
kaki zinanya adalah
melangkah,
sementara kalbu
berkeinginan dan
berangan-angan,
maka kemaluan lah
yang membenarkan
atau
mendustakan. ”
Hadits ini
menunjukkan bahwa
memandang wanita
yang tidak halal
untuk dipandang
meskipun tanpa
syahwat adalah zina
mata . Mendengar
ucapan wanita
(selain istri) dalam
bentuk menikmati
adalah zina telinga.
Berbicara dengan
wanita (selain
istrinya) dalam
bentuk menikmati
atau menggoda dan
merayunya adalah
zina lisan.
Menyentuh wanita
yang tidak dihalalkan
untuk disentuh baik
dengan memegang
atau yang lainnya
adalah zina tangan.
Mengayunkan
langkah menuju
wanita yang menarik
hatinya atau menuju
tempat perzinaan
adalah zina kaki.
Sementara kalbu
berkeinginan dan
mengangan-
angankan wanita
yang memikatnya,
maka itulah zina
kalbu. Kemudian
boleh jadi
kemaluannya
mengikuti dengan
melakukan
perzinaan yang
berarti kemaluannya
telah membenarkan;
atau dia selamat dari
zina kemaluan yang
berarti kemaluannya
telah mendustakan.
(Lihat Syarh Riyadhis
Shalihin karya Asy-
Syaikh Ibnu
‘ Utsaimin, pada
syarah hadits no. 16
22)
Padahal Allah
Subhanahu wa
Ta ’ala berfirman:
َالَو اوُبَرْقَت
اَنِّزلا ُهَّنِإ
َناَك ًةَشِحاَف
َءاَسَو
ًالْيِبَس
“Dan janganlah
kalian mendekati
perbuatan zina,
sesungguhnya itu
adalah perbuatan
nista dan sejelek-
jelek jalan. ” (Al-
Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
juga bersabda:
ْنَأل َنَعْطُي
يِف ِسْأَر
ْمُكِدَحَأ
ٍطَيْخِمِب ْنِم
ٍدْيِدِح ٌرْيَخ
ْنِم ْنَأ
َّسَمَي ًةَأَرْما
َال ُّلِحَت ُهَل
“Demi Allah,
sungguh jika kepala
salah seorang dari
kalian ditusuk
dengan jarum dari
besi, maka itu lebih
baik dari menyentuh
wanita yang tidak
halal baginya. ” (HR.
Ath-Thabarani dan
Al-Baihaqi dari
Ma ’qil bin Yasar
radhiyallahu ‘anhu,
dan dishahihkan oleh
Al-Albani dalam Ash-
Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan
itu hanya sebatas
berjabat tangan
maka tetap tidak
boleh. Aisyah
radhiyallahu ‘anha
berkata:
َالَو ِهللاَو اَم
ْتَّسَم ُدَي
ِلْوُسَر ِهللا
َدَي ٍةَأَرْما
ُّطَق َرْيَغ
ُهَّنَأ
َّنُهُعِياَبُي
ِمَالَكْلاِب
“Tidak. Demi Allah,
tidak pernah sama
sekali tangan
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
menyentuh tangan
wanita (selain
mahramnya),
melainkan beliau
membai ’at mereka
dengan ucapan
(tanpa jabat
tangan). ” (HR.
Muslim)
Demikian pula
dengan pandangan,
Allah Subhanahu wa
Ta ’ala telah
berfirman dalam
surat An-Nur ayat
31-30:
ْلُق
َنْيِنِمْؤُمْلِل
اوُّضُغَي ْنِم
ْمِهِراَصْبَأ
اوُظَفْحَيَو
ْمُهَجْوُرُف –
ىَلِإ ِهِلْوَق
ىَلَعَت – ْلُقَو
ِتاَنِمْؤُمْلِل
َنْضُضْغَي
ْنِم
َّنِهِراَصْبَأ
َنْظَفْحَيَو
َّنُهَجْوُرُف ...
“Katakan (wahai
Nabi) kepada kaum
mukminin, hendaklah
mereka menjaga
pandangan serta
kemaluan mereka
(dari halhal yang
diharamkan) –hingga
firman-Nya- Dan
katakan pula kepada
kaum mukminat,
hendaklah mereka
menjaga pandangan
serta kemaluan
mereka (dari hal-hal
yang diharamkan)
… .”
Dalam Shahih Muslim
dari Jabir bin Abdillah
radhiyallahu
‘ anhuma, dia
berkata:
ُتْلَأَس
َلْوُسَر ِهللا
َّىلَص ُهللا
ِهْيَلَع
َمَّلَسَو ْنَع
ِرْظَن
؟ِةَأْجَفْلا
َلاَقَف :
ْفِرْصا
َكَرَصَب
“Aku bertanya
kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang
pandangan yang
tiba-tiba (tanpa
sengaja)? Maka
beliau bersabda:
‘ Palingkan
pandanganmu’.”
Adapun suara dan
ucapan wanita, pada
asalnya bukanlah
aurat yang terlarang.
Namun tidak boleh
bagi seorang wanita
bersuara dan
berbicara lebih dari
tuntutan hajat
(kebutuhan), dan
tidak boleh
melembutkan suara.
Demikian juga
dengan isi
pembicaraan, tidak
boleh berupa
perkara-perkara
yang
membangkitkan
syahwat dan
mengundang fitnah.
Karena bila demikian
maka suara dan
ucapannya menjadi
aurat dan fitnah
yang terlarang. Allah
Subhanahu wa
Ta ’ala berfirman:
َالَف
َنْعَضْخَت
ِلْوَقْلاِب
َعَمْطَيَف
يِذَّلا يِف
ِهِبْلَق ٌضَرَم
َنْلُقَو ًالْوَق
اًفْوُرْعَم
“Maka janganlah
kalian (para istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam) berbicara
dengan suara yang
lembut, sehingga
lelaki yang memiliki
penyakit dalam
kalbunya menjadi
tergoda dan
ucapkanlah
perkataan yang
ma ’ruf (baik).” (Al-
Ahzab: 32)
Adalah para wanita
datang menemui
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
dan di sekitar beliau
hadir para
shahabatnya, lalu
wanita itu berbicara
kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam
menyampaikan
kepentingannya dan
para shahabat ikut
mendengarkan. Tapi
mereka tidak
berbicara lebih dari
tuntutan hajat dan
tanpa melembutkan
suara.
Dengan demikian
jelaslah bahwa
pacaran bukanlah
alternatif yang
ditolerir dalam Islam
untuk mencari dan
memilih pasangan
hidup. Menjadi jelas
pula bahwa tidak
boleh
mengungkapkan
perasaan sayang
atau cinta kepada
calon istri selama
belum resmi menjadi
istri. Baik ungkapan
itu secara langsung
atau lewat telepon,
ataupun melalui
surat. Karena saling
mengungkapkan
perasaan cinta dan
sayang adalah
hubungan asmara
yang mengandung
makna pacaran yang
akan menyeret ke
dalam fitnah.
Demikian pula halnya
berkunjung ke
rumah calon istri
atau wanita yang
ingin dilamar dan
bergaul dengannya
dalam rangka saling
mengenal karakter
dan sifat masing-
masing, karena
perbuatan seperti ini
juga mengandung
makna pacaran yang
akan menyeret ke
dalam fitnah.
Wallahul musta ’an
(Allah-lah tempat
meminta
pertolongan).
Adapun cara yang
ditunjukkan oleh
syariat untuk
mengenal wanita
yang hendak dilamar
adalah dengan
mencari keterangan
tentang yang
bersangkutan
melalui seseorang
yang mengenalnya,
baik tentang biografi
(riwayat hidup),
karakter, sifat, atau
hal lainnya yang
dibutuhkan untuk
diketahui demi
maslahat
pernikahan. Bisa pula
dengan cara
meminta keterangan
kepada wanita itu
sendiri melalui
perantaraan
seseorang seperti
istri teman atau
yang lainnya. Dan
pihak yang dimintai
keterangan
berkewajiban untuk
menjawab
seobyektif mungkin,
meskipun harus
membuka aib wanita
tersebut karena ini
bukan termasuk
dalam kategori
ghibah yang tercela.
Hal ini termasuk dari
enam perkara yang
dikecualikan dari
ghibah, meskipun
menyebutkan aib
seseorang. Demikian
pula sebaliknya
dengan pihak wanita
yang berkepentingan
untuk mengenal
lelaki yang berhasrat
untuk meminangnya,
dapat menempuh
cara yang sama.
Dalil yang
menunjukkan hal ini
adalah hadits
Fathimah bintu Qais
ketika dilamar oleh
Mu’awiyah bin Abi
Sufyan dan Abu
Jahm, lalu dia minta
nasehat kepada
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
maka beliau
bersabda:
اَّمَأ وُبَأ ٍمْهَج
َالَف ُعَضَي
ُهاَصَع ْنَع
ِهِقِتاَع ،
اَّمَأَو
ُةَيِواَعُم
ٌكْوُلْعُصَف
َال َلاَم ُهَل ،
يِحِكْنا
َةَماَسُأ َنْب
ٍدْيَز
“Adapun Abu Jahm,
maka dia adalah
lelaki yang tidak
pernah meletakkan
tongkatnya dari
pundaknya . Adapun
Mu ’awiyah, dia
adalah lelaki miskin
yang tidak memiliki
harta. Menikahlah
dengan Usamah bin
Zaid. ” (HR. Muslim)
Para ulama juga
menyatakan
bolehnya berbicara
secara langsung
dengan calon istri
yang dilamar sesuai
dengan tuntunan
hajat dan maslahat.
Akan tetapi tentunya
tanpa khalwat dan
dari balik hijab. Asy-
Syaikh Ibnu Utsaimin
dalam Asy-Syarhul
Mumti ’ (130-129/5
cetakan Darul Atsar)
berkata: “Bolehnya
berbicara dengan
calon istri yang
dilamar wajib
dibatasi dengan
syarat tidak
membangkitkan
syahwat atau tanpa
disertai dengan
menikmati
percakapan
tersebut. Jika hal itu
terjadi maka
hukumnya haram,
karena setiap orang
wajib menghindar
dan menjauh dari
fitnah. ”
Perkara ini
diistilahkan dengan
ta ’aruf. Adapun
terkait dengan hal-
hal yang lebih
spesifik yaitu organ
tubuh, maka cara
yang diajarkan
adalah dengan
melakukan nazhor,
yaitu melihat wanita
yang hendak
dilamar. Nazhor
memiliki aturan-
aturan dan
persyaratan-
persyaratan yang
membutuhkan
pembahasan
khusus .
Wallahu a ’lam.
http://
www.asysyariah.com/
print.php?
id_online=42


Reaksi:

0 komentar:

Ayo komentar kamu yang pertamax wa di Ta'aruf Syar'i Solusi Pengganti Pacaran

 
powered by blogger.com and maxwidth simple build 0.02 mobile template